Hai Girls...
Aku cuman mau cerita nih...
Sekarang aku udah SMA. Alhamdulillah aku dapat sekolah favorit di Indonesia. Aku tinggal di asrama sekarang. Mumpung lagi megang laptop, aku mutusian buat curhat di blog pribadiku ini.
Gini nih, iseng iseng aku buka sosmed trus aku buka akunnya--orang yang aku sukai waktu SMP selama tiga tahun--
Aku jadi inget, dulu SMP tuh aku tipe orang yang egois, nggak pernah mau ngakuin perasaan, dan paling tabu yang namanya bilang aku suka sama siapa. Sama sih, kayak sekarang tapi seenggaknya sekarang aku bisa share perasaanku ke temen temenku. Nggak kayak dulu, walaupun sekarang aku masih nggak bisa ngungkapin perasaanku ke cowok aku takut harga diriku jatuh gara gara nyatain perasaan duluan. Aku tahu ini emang nggak bener, tapi nyimpen rasa sakit ini sendiri, buat aku ngerasa jadi cewek yang kuat.
Nggak tahu kenapa, aku malah klik foto di akunnya, dan semua fotonya muncul. Nyeseg rasanya, apalagi waktu aku tahu dia udah punya pacar yang se SMA dengannya. Dia manis juga, aku jadi seneng sendiri ngeliat fotonya. Tapi, it's OK. Aku bisa kok tetep nahan perasaan kayak gini. Jujur, akku udah suka sama dia sejak kelas tujuh SMP dan aku masih mendem perasaan itu sampai sekarang.
Nggak apa apa kok! aku selalu aja ngeyakinin hatiku dengan kalimat itu. Aku emang punya keputusan aku baru mau pacaran abis lulus SMA. Even, rasanya sakit menahan perasaan. Tapi entah kenapa, itu udah jadi bagian dari hidupku. Aku tahu aku pengecut. Tapi, entahlah...
Liatin fotonya, bener bener udah buat aku seneng. Banget. Tapi, ya udah deh aku seneng hidup sekarang seneng banget. Aku mau ngejar karirku aja deh. Aku udah sangat sangat sangat beruntung sekarang bisa sekolah disini. Aku bakal banggain almamater dan bergabung dengan jaringan ikatan alumni yang begitu kuat dan solid.
Selasa, 28 Juli 2015
Sabtu, 18 Juli 2015
Misteri Senar Piano yang Berkarat (cerpen)
Misteri Senar Piano yang Berkarat
Oleh: LY5239 (Luticia Fiandra Yana Tirta)
Aku membuka mataku yang terasa berat. Suara berisik dari
alarm menarikku keluar dari dunia mimpi. Tak hanya alarm yang ku set
dengan volume maksimal, tapi juga ayam peliharaan dan burung beo yang dari tadi
mengoceh tanpa makna. Kepalaku terasa pusing mendengar suara berisik yang
membuat tulang pendengaranku mengeras. Tapi tak apalah, setidaknya aku tak
harus mencabuti rumput disekolah karena tiba disana setelah bel berbunyi. Atau
bisa dibilang terlambat.
Dengan kelopak mata yang sedikit mengatup, aku meraih
handphone ku dan memencet layar yang bertuliskan ‘matikan’. Ruangan terdengar
sunyi seketika. Tak ada suara ribut yang menganggu. Karena aku juga tak
mendengar dua perliharaan yang termasuk kedalam family aves itu
mengoceh.
Dengan langkah sempoyongan, aku meraih handukku dan
segera memasuki kamar mandi. Sedikit berat rasanya harus meninggalkan ranjang
empuk itu dan memulai aktivitas yang melelahkan. Dengan kesadaran yang belum sepenuhnya
terkumpul, aku menyalakan shower dan...
“Dingin.....” Aku berteriak. Tapi seketika itu juga
kesadaranku kembali sepenuhnya. Beruntung dirumah ini hanya ada aku. Aku tebak
ayahku yang seorang sekretaris itu sudah berangkat hari ini. Hah, seharusnya
dia menyadari tugasnya sebagai seorang single parent. Bagaimana mungkin
dia belum terbiasa setelah hampir enam tahun berpisah dengan ibu? Jika tak
ingin gagal membangun rumah tangga, seharusnya dia beradaptasi, sesuai dengan
teori Lammarck.
Seusai membasuh tubuhku dengan air, aku segera memakai
seragam sekolahku yang sangat kusukai ini. Dibanding dengan seragam sekolah
lain, kurasa design seragam sekolahku lebih baik. Bentuknya tak terlalu
menonjolkan lekuk tubuh dan designnya tidak terlalu sederhana. Warna jas nya
biru muda dengan kemeja biru tua kotak kotak dan rok selutut berwarna putih.
Ini baru seragam untuk hari Rabu dan Kamis. Masih ada seragam hari jumat yang
berwarna cokelat. Seragamnya hampir sama dengan seragam SMA Jeguk di drama “The
Heirs”. Mungkin seragam dalam drama itu terinspirasi dari seragam
sekolahku.
Setelah selesai ganti baju, aku segera menggendong tasku
dan berlari menyusuri tangga menuju ke ruang makan. Disana sudah tersedia satu
piring nasi goreng dan segelas susu. Entah kenapa aku masih saja merasa kecewa,
padahal aku sudah menjalani semua ini selama enam tahun. Suara dentingan sendok
dengan piring menggema diruang makan yang kutempati ini. Suasana makan yang
sangat sunyi. Padahal dulu, ibu pasti akan bertanya bagaimana sekolahku?,
apakah pelajarannya sulit, dan bagaimana teman temanmu. Tapi sekarang, semua
itu hanyalah mimpi belaka. Aku jadi tak bernapsu untuk menghabiskan sarapanku.
Aku terlalu bosan dengan suasana seperti ini. Aku segera keluar dari rumahku
dan berjalan menuju halte bus terdekat. Setiap pagi, aku selalu naik bus sampai
kesekolahku. Kebanyakan temanku selalu diantar jemput oleh orang tua mereka.
Tidak seperti diriku yang bahkan hanya punya satu orang tua yang berangkat saat
aku masih tidur dan pulang saat aku sudah tidur. Liburanpun dia hanya tidur,
kalau tidak, dia akan mengerjakan pekerjaannya. Aku jadi iri dengan teman
temanku. Aku segera memasuki bus yang berhenti tepat dihalte tempatku menunggu.
Masih banyak kursi yang kosong, Hanya ada beberapa pelajar yang naik bus.
Kebanyakan adalah ibu ibu rumah tangga yang baru saja belanja di pasar.
Beberapa menit kemudian, bus yang kutumpangi berhenti disebuah sekolah swasta
yang didepannya terdapat sebuah tugu bertuliskan SMA Slativia.
Aku berjalan masuk kesekolahku. Bisa dibilang, sekolah
ini cukup besar. SMA Slativia merupakan salah satu SMA favorit di provinsi Jawa
Tengah. Perlu usaha yang sangat berat untuk bisa masuk kesini. Padahal, dulu
aku sama sekali tak berminat dengan sekolah ini, tapi sekarang aku justru malah
sekolah disini. Ayahku yang mendaftarkanku kesekolah ini. Dia melakukannnya
karena kakakku juga sekolah disini. Tapi, aku tidak terlalu sering bertemu
kakakku karena jarak ruang kelas kami juga sangat jauh. Kakakku sering keluar
lewat gerbang utara, sementara aku keluar lewat gerbang selatan. Ironisnya
lagi, kurasa dia lupa kalau aku adalah adiknya, kalau tidak lupa mungkin dia
tidak mau mengakuiku sebagai adiknya. Bagaimanapun juga, dia sangat populer
disekolah ini. Sementara aku, aku hanyalah satu jerami dalam tumpukan jerami.
Selain itu nama kami cukup berbeda. Namaku adalah Irene, tapi orang orang
memanggilku ‘AIRIN’.
Saat aku berjalan dikoridor lantai satu, tiba tiba aku
mendengar suara gaduh dari tangga menuju kantin sekolah di lantai satu.
Beberapa anak terlihat berlari menghampiri suara gaduh itu. Jadi aku juga memutuskan
untuk ikut berlari dan menghampiri kerumunan itu. Didalam hati, aku bertanya
tanya apa yang sudah terjadi? Kerumunan itu begitu ramai dan aku sama sekali
tak menemukan celah untuk mengintip. Tiba tiba seorang gadis berteriak. “Cepat
selamatkan dia!” Beberapa saat setelah teriakan itu, kerumunan mulai melonggar
dan seorang laki laki berseragam olah raga berlari sambil menggendong seorang
anak perempuan yang kepalanya berlumuran darah.
“Mika?” Aku terkejut. Anak yang kepalanya berlumuran
darah itu adalah Mika. Teman sekelasku.
Beberapa saat kemudian, kerumunan tadi mulai memudar. Aku
masih terpaku ditempatku berdiri tadi dan menatap bercak darah yang masih
melekat dilantai. Kenapa Mika bisa terjatuh dari tangga? aku berpikir keras
mencari kemungkinan yang terjadi. Apa mungkin dia hanya kepeleset? Tanpa pikir
panjang, aku segera berjalan menaiki tangga tempat Mika terjatuh. Aku mencari
sesuatu yang mungkin bisa membuat Mika terjatuh selain karena keteledorannya sendiri.
Tepat dianak tangga nomer lima dari atas, aku melihat benda seperti benang yang
telah terputus. Benang itu terikat dengan pagar yang berada ditangga. Aku
segera mengambil ponselku dan memotret benang itu. Dari beberapa buku yang aku
baca, para detektif biasanya memotret barang bukti yang tak bisa disentuhnya
karena bisa meninggalkan sidik jari.
“Pak Okari!” Kebetulan saat itu ada seorang guru yang
sedang meninjau tempat kecelakaan tadi. Namanya adalah Okari, beliau adalah
salah satu Guru favorit yang mengajar Bahasa Indonesia di sekolah ini.
“Irene, apa yang kamu lakukan disana?” Tanya Pak Okari
sambil berjalan kearahku.
“Aku menemukan sesuatu, mungkin ini yang membuat Mika
terjatuh!” Jawabku sambil berusaha menunjukkan sebuah benda yang mirip benang
itu.
Pak Okari ikut jongkok mengamati benang itu. Lalu beliau
menyentuhnya. “Senar piano!” Gumam Pak Okari. “Bapak akan melaporkan hal ini
pada kepala sekolah! Lebih baik kamu segera kembali ke kelas!” Pinta Pak Okari
padaku. Aku hanya bisa menganguk dan berjalan meninggalkan tempat tadi.
Aku berjalan sambil melamun. Memikirkan kemungkinan yang
terjadi. Bagaimana mungkin disana bisa ada senar piano? ini pasti bukan
kecelakaan, aku yakin ini telah dIrenecanakan. Tapi untuk apa pelaku mencelakai
Mika? bukankah dia adalah gadis yang baik?.
“Irene!” Sapa Rima dengan wajah panik.
“Ada apa?” Tanyaku dengan wajah datar. Aku masih bingung
mengenai senar piano tadi.
“Apa kau sudah mendengarnya?, Mika jatuh dari tangga dan
baru saja dibawa kerumah sakit!” Ucapnya heboh.
“Aku sudah tahu!” Jawabku.
“Benarkah?” Kata Rima sedikit kecewa.
“Kau tahu apa yang aku temukan?” Tanyaku berusaha
membangkitkan suasana hatinya. Lagi pula aku berniat memecahkan kasus senar
piano ini. Tapi aku tidak mungkin bisa memecahkannya sendirian.
“Apa?” Tanya Rima antusias.
“Akan kuberitahu, tapi kita masuk ke dalam kelas dulu!”
Ucapku dan menyeret Rima memasuki kelas. Aku segera mendudukkan diriku di
bangku yang sudah ditentukan dan Rima duduk di bangkunya yang berada didepanku.
Aku duduk disebelah Asami, sementara Rima duduk disebelah Billy. Sejak awal
semester, tempat duduk kami selalu seperti ini. Mau bagaimana lagi, wali kelas
kami yang telah menentukan susunan tempat duduk dikelasku ini. Disetiap
pelajaran, kami selalu saja satu kelompok. Bahkan orang orang menjuluki kami
empat bersaudara.
Aku mengeluarkan ponselku dan membuka sebuah gambar senar
piano yang sempat aku potret tadi. “Ini gambar senar piano yang aku
potret ditangga kelima dari atas tempat Mika terjatuh!” Jelasku. Rima, Asami
dan Kyoko terlihat antusias mendengar penjelasanku.
“Senar piano kau bilang?” Tanya Asami dengan wajah heran.
“Kenapa senar piano berkarat?” Tanya laki laki muda yang pandai dibidang kimia
itu.
“Apa senar piano tidak bisa berkarat?” Tanyaku.
“Setahuku, senar piano selalu diolesi minyak untuk
menghindari oksidasi!” Jawab Asami. “Karena itu senar piano selalu terlihat
mengkilat!” Lanjutnya.
“Jadi maksudmu, senar pianonya sudah dikeringkan?” Tanya
Rima ikut berpikir. “Begitulah!” Jawab Asami.
“Benar juga, jika senar pianonya mengkilat maka akan
mudah terlihat. Tapi lain halnya jika senar piano itu sudah berkarat!” Pikirku.
“Itu berarti orang yang melakukannya adalah orang yang ahli dibidang sains!”
“Tapi untuk apa pelaku melakukannya?” Tanya Kyoko.
“Itu aku juga belum tahu. Tapi setahuku, Mika selalu
membantu ibunya setiap pagi. Dia selalu melewati tangga itu. Saat pagi hari,
tangga itu jarang dilewati karena jauh dari pintu masuk. Tapi saat sore, cukup
banyak anak yang melewati tangga itu karena mereka biasanya mampir dulu
kekantin sebelum pulang sambil menunggu jemputan!” Jelasku. “Jadi
kesimpulannya, pelaku memasang kawat itu sekitar jam empat sore sampai jam enam
pagi!”
“Benar juga!” Gumam Kyoko. “Jika dilihat dari posisi
tangga itu, mungkin ada beberapa kelas yang letaknya cukup strategis untuk
melihat tangga itu secara keseluruhan! Tangga itu terletak di gedung tiga.
Gedung yang posisinya berhadap hadapan dengan gedung tiga adalah gedung satu.
Tempat anak anak kelas tiga!”
“Kau benar! Dan tempat yang paling strategis adalah kelas
IPA yang posisinya berada dilantai dua. Karena jika dari lantai satu, mereka
tidak mungkin bisa melihat dengan jelas kerena jendela yang tertutupi pohon
cemara. Sementara jika dari lantai tiga, aku yakin bagian atas dari tangga itu
tertutup oleh genting!” Tambah Asami.
“Kau benar. Berarti untuk
masalah tempat sudah terpecahkan!” Ucapku.
“Sekarang
pertanyaannya, dimana kita bisa menemukan zat yang bisa mengoksidasi senar
piano?” Tanya Rima.
“Kupikir
kita bisa menemukannya di ruang praktikum kimia!” Kata Asami. Dia ikut
ekstrakulikuler Kimia. Jadi dia tahu banyak tentang hal hal seperti itu.
Ditambah lagi, dia adalah calon perwakilan sekolah diolimpiade Fisika tahun
ini.
“Hn, kau
benar! Kita bertanya saja pada guru Kimia nanti saat istirahat!” Usul Rima.
“Baiklah,
lagipula sebentar lagi bel masuk berbunyi!”
***
“Apa kau
yakin kau akan bertanya pada Bu Melly?” Tanyaku ragu ragu.
“Tentu
saja!” Jawab Asami dengan mantap. Kami berdua harus bertanya pada bu Melly
tentang senar piano. Sementara Rima dan Kyoko
pergi ke gedung satu untuk mengecek saksi mata yang pada saat pukul empat
sampai pukul enam pagi berada dikelas.
“Selamat
pagi Bu Melly!” Sapa Asami sambil berjalan menuju tempat Bu Melly duduk di
ruang praktikum.
“Asami,
ada apa?” Tanya Bu Melly dengan ramah. “Ah, temanku ingin bertanya sesuatu!”
Kata Asami. Sial, anak itu mengerjaiku. Aku hanya bisa menatap Asami dengan
pandangan “Mati kau!’ Sementara Asami hanya cengengesan.
“Ada apa
Irene?” Tanya Bu Melly.
“E, aku
hanya ingin bertanya tentang komposisi senar piano!” Ucapku agak gugup.
“Komposisi
senar piano?” Tanya Bu Melly sambil berpikir. “Kalau tidak salah, fosfor,
sulfur, dan tembaga! Ada apa memangnya? Kalau tertarik dengan eksperiment,
bergabung saja dengan klub kimia!” Kata Bu Melly menawariku.
“Ah
tidak terimakasih. Tapi... apa zat zat itu mudah teroksidasi?” Tanyaku.
“Didiamkan
saja juga akan teroksidasi. Tapi supaya cepat, kita bisa mengoksidasinya dengan
menggunakan klorida dan oksigen!” Jelas Bu Melly. “Tapi kalau kalian ingin
meminjam bahan bahan disini, ibu tidak bisa memperbolehkannya. Soalnya hampir
semua bahan bahan disini berbahaya! Karena itu ruangan ini selalu dikunci jika
tidak digunakan!” Kata Bu Melly.
“Begitu
ya!”
“Kalau
sudah selesai, ibu mau keluar dulu. Soalnya sebentar lagi akan ada rapat wali
kelas dan pelajaran selanjutnya akan kosong! Ayo kita keluar!” Kata Bu Melly.
Kami bersdia
mengikuti perintah Bu Melly dan segera keluar dari ruang praktikum. Aku dan Asami
berjalan hendak kembali menuju ke kelas. Disaat itu juga, aku ingat sesuatu.
Aku segera berhenti berjalan.
“Ada apa
Irene?” Tanya Asami. “Kenapa berhenti?” Tanyanya lagi.
“Tadi Bu Melly bilang bahwa paling mudah
mengoksidasi senar piano dengan Klorida atau oksigen kan?” Tanyaku.
“...” Asami
hanya mengangguk.
“C2H5OH
itu rumus apa?” Tanyaku.
“Kalau
tidak salah alkohol!” Jawab Asami.
“Bukankah
Alkohol bisa digunakan untuk mengobati luka?” Tanyaku memastikan. “Itu
berarti....” Aku menggantung kalimatku.
“UKS!”
Tebak Asami. Kami berdua segera berlari menuju UKS. Aku berusaha mensejajari Asami
yang berada didepanku. Aku berharap semoga kami bisa mendapatkan jawaban atas
misteri ini. Setidaknya orang yang bersalah itu harus bertanggung jawab dan
mendapat hukuman supaya dia jera.
“Sepertinya
ada orang di UKS!” Kata Asami saat melihat salah satu tirai disana tertutup. Asami
segera membuka tirai itu dan ternyata ada Rafa, teman sekelas kami yang sedang tiduran
disana. Rafa adalah tipe orang yang cukup pendiam. Dia sangat suka berada
ditempat sepi, kalau ada waktu kosong dia pasti akan pergi dari kelas. Dia
memang terkesan tertutup, tapi sepertinya dia tidak terlalu dingin.
“Asami?”
Rafa sedikit kaget. “Apa yang kau lakukan disini?” Tanya Asami dengan sinis.
“Kau mau bolos ya?” Tanyanya dengan tatapan iblis. Asami memang sering iri
dengan anak anak yang bisa bolos pelajaran dan bersantai. Pasalnya, tiap hari
dia harus selallu belajar untuk menghadapi Lomba Olimpiade Fisika yang akan
diadakan tiga minggu lagi.
“Bukankah
setelah ini jam kosong?” Tanya Rafa. “Lagi pula ada urusan apa kau disini?”
Tanya Rafa.
“Kami
hanya mencari obat!, tangannya Rima berdarah!” Jawabku berbohong. Aku tidak
mungkin memberitahunya bahwa aku sedang mencari barang bukti yang digunakan
pelaku untuk mencelakai Mika.
“Hm,
kalau begitu ambil saja obatnya disana!” Kata Rafa sambil menunjuk sebuah
lemari obat di sudut ruangan. “Tapi kalau alkohol sepertinya sudah habis!”
“...”
Aku mengangguk dan segera mendekati lemari obat itu. Sementara Asami malah
berdebat dengan Rafa.
“Ini
dia!” Gumamku dalam hati. Aku segera mengambil botol Alkohol itu dan
membukanya. “Habis?” Ternyata Rafa benar. Kemudian aku mengecek buku persediaan
obat yang terletak diatas lemari itu. Alkohol, aku menemukannya. Dalam buku itu
tercatat bahwa penggantian bahannya dilakukan dua hari yang lalu. Mana mungkin alkoholnya
langsung habis. Apa mungkin digunakan untuk mengobati lukanya Mika tadi pagi? Tapi
bukankah dia langsung dibawa kerumah sakit? Kemudian aku mengecek siswa yang
piket di UKS dua hari yang lalu dan kemarin. Jumlahnya ada enam anak. Dan salah
satu dari mereka adalah teman sekelasku .Empat diantaranya adalah adik kelas.
Kurasa ini akan sangat sulit.
Tiba
tiba aku melihat Asami berjongkok sambil menatap lekat lekat sebuah benda
seperti benang yang menjulur dari lemari yang berada disamping lemari obat.
“Ini apa?” Tanya Asami. Dia segera membuka pintu lemari itu dan disana ada
seutas senar piano dan tumpahan cairan alkohol.
“Apa
itu?” Tanya Rafa yang juga melihatnya.
“Rafa,
bisakah kau panggilkan pak Okari!” Pintaku pada Rafa. Dia segera mengangguk dan
berlari menuju ruang Guru. Kurasa dia mengarti keadannya.
“Buktinya
sudah terkumpul. Tinggal mencari siapa pelakunya!” Kata Asami masih dengan
pandangan yang terpaku pada senar itu.
“Aku
tahu bagaimana caranya mengetahui si pelaku. Namun kemungkinannya hanya tiga
puluh lima persen!” Pikirku. “Tapi jika ada bukti lain....” Aku menggantung
kalimatku karena Pak Okari sudah masuk ke UKS.
“Ada
apa?” Tanya pak Okari.
“Kami
menemukan barang bukti si pelaku!” Jawabku lalu berdiri. Pak Okari segera
mendekati senar dan tumpahan alkohol itu. “Ini...., kurasa kasus ini murni disengaja!
Aku harus merapatkannya dengan kepala sekolah! Kalian jangan sentuh benda itu.
Aku akan menyuruh orang untuk mengeceknya!” Kata Pak Okari lalu segera keluar
dari UKS.
“Jadi...,
Mika terjatuh bukan karena kecelakaan?” Tanya Rafa yang sepertinya sudah
mengerti alur dari masalah yang kami ceritakan.
“Ya!”
Jawab Asami singkat.
“Kemungkinan
aku sudah tahu siapa pelakunya!” Ucapku. Memang tak ada bukti langsung yang
mengacu pada orang itu, tapi entah kenapa aku yakin dialah pelakunya. “Bukankah
kau satu kelompok dengan Mika?” Tanyaku pada Rafa. “Ya, aku sekelompok dengan
Mika, Mia, dan Edward!” Jawab Rafa.
“Apakah
Mika sedikit aneh saat kalian mulai bekerja dalam kelompok!” Tanyaku.
“Ku rasa
tidak! Tapi... dia sangat sering mengajak Edward bicara walaupun Edward hanya mengacanginya!
Selain itu, kurasa dia sedikit tidak bisa bekerja sama dengan Mia. Soalnya Mia
selalu bersikap dingin dengan Mika!” Jelas Rafa.
Setelah
mendengar penjalasannya Rafa, keyakinanku bertambah sepuluh persen dan sekarang
menjadi empat puluh lima persen. Yah, aku yakin orang itu adalah pelakunya.
Tidak salah lagi.
“Aku
mencari kalian kemana mana, ternyata kalian disini!” Kata Rima yang tiba tiba
muncul dari pintu UKS. “Kami menemukan dua orang saksi mata. Namun salah
satunya tidak berangkat karena flu!” Tambahnya.
“Siapa?”
Tanya Asami. Rima terlihat enggan menjawab sambil menatap Rafa. “Tenang saja,
dia sudah tahu semuanya!” Kata Asami seolah mengerti maksud dari tatapan Rima.
“Baiklah,
yang hari ini masuk adalah Riana. Dia sampai disekolah pukul setengah enam dan
sempat melihat Mia melewati tangga yang menuju kekantin itu. Tapi dia sama
sekali tak tersandung!” Jelas Rima. “Dan yang hari ini tidak masuk adalah
Putri. Mereka bilang kemarin Putri berada dikelas untuk menyelesaikan tugasnya
sambil menunggu jemputan sampai jam lima. Dan kemarin dia sempat mengunggah
status yang berbunyi ‘Ternyata tidak hanya aku yang jam segini masih berada
disekolah, si adik pendiam itu ternyata sibuk juga!tapi apa yang dia lakukan?
Aneh!’”
Dugaanku
benar. Pikirku dalam hati. Jika Putri berangkat besok, maka semua akan
terpecahkan. Dan tinggal satu lagi hal yang harus kutunggu. Maka semuanya akan
terselesaikan.
“Sebentar
lagi jam kosong selesai! Apa kalian akan terus berada disini?” Tanya pak Okari
yang ternyata sudah kembali bersama beberapa orang.
“Kami
akan segera kembali!” Kata Kyoko sambil mengisyaratkan kami untuk kembali
menuju ke kelas.
Kami
berlima segera berjalan menuju kelas kami dan kembali ketempat duduk masing
masing.
“Tumben
Edward mau bergaul!” Kata Asami sambil memandang sinis orang itu. Benar juga,
tumben Edward mau berbicara dengan orang lain sampai seperti itu.
***
Pagi
yang indah ini mengiringi langkahku menyusuri jalan setapak menuju kelasku. Aku
sudah tidak sabar mendepatkan hasilnya. Semuanya akan terungkap hari ini. Bagaimana
tidak, aku sudah memastikan bahwa kak Putri akan masuk sekolah hari ini dan satu
langkah terakhir adalah mengeceknya dan bertanya langsung pada Mika. Jika orang
itu bertanya bagaimana keadaan Mika, maka sudah jelas dia adalah pelakunya.
Bagaimanapun juga, dia bukan tipe orang berdarah dingin. Dia pasti juga punya
rasa bersalah dan khawatir, setidaknya jika dia masih berhati manusia.
“Hai
teman teman...., ngomong ngomong bagaimana keadaan Mika?” Tanyaku saat memasuki
kelas. Jawaban teman temanku akan menjadi kuncinya.
“Dia
baik baik saja, hanya kesleo kaki dan luka dikepalanya. Dia bilang dia akan
berangkat sekolah empat hari lagi!” Jawab Lala. Ketua kelas dikelasku.
“Apa kau
bertanya pada Mika tadi malam?” Tanyaku.
“Tidak,
Edward yang memberitahuku!” Jawab Lala.
“Begitu
ya, apa Rafa sudah tahu kalau Mika baik baik saja? Dia kan teman sekelompok
Mika!” Tanyaku lagi.
“Yah...
walaupun sekelompok, mereka tidak sedekat yang kau kira!” Jawab Lala. “Tapi
seperrtinya Rafa sudah tahu kalau Mika baik baik saja soalnya saat Edward
memberitahunya, tadi Rafa bilang dia sudah tahu!”
“Oh,
begitu ya!” Gumamku.
“Ada
SMS!” Aku merasakan handphoneku bergetar. Ternyata dari Mika. Aku segera
meletakkan tasku dan berjalan keluar kelas. Aku membaca SMS nya. Dia bilang
yang menghubunginya tadi malam ada tiga orang. Luci yang notabene sahabatnya,
Edward, dan Rafa yang teman sekelompoknya. Sekarang keyakinanku hampir seratus
persen. Tinggal menunggu keterangan dari Rima, Kyoko, dan Asami yang sedang
menanyai kak Putri.
Aku
hanya bersandar ditembok kelas sambil menunggu temna temanku. Beberpa saat
kemudian dari kejauhan, aku melihat Rima, Kyoko, dan Asami berjalan kembali ke
kelas. Aku segera menghampiri mereka dan menanyakan hasilnya. Dan ternyata
benar, orang itu yang melakukannya. Aku seratus persen yakin bahwa dia yang
melakukannya.
“Dia
tadi pergi ketaman belakang!” Jawab Rima saat aku bertanya sedang berada dimana
dia. Karena kulihat tadi tasnya sudah berada dikelas.
“Sebaiknya
kita pergi menghampirinya!” Kata Asami mulai berjalan meninggalkan kami. Dan
benar, dia sedang berada ditaman belakang sambil tiduran dibangku.
“Rafa,
kami ingin bicara denganmu!” Kata Kyoko sambil menatapnya tajam.
“Kalian,
kalian mau bicara apa?” Tanya Rafa dengan wajah datar.
“Kenapa
kau melakukannya?” Tanyaku langsung pada inti pembicaraannya.
“Melakukan
apa?” Tanya Rafa pura pura tak mengerti.
“Jangan
memasang wajah seperti itu, kau yang memasang senar piano itu ditangga kan?”
Tanya Rima. Dia sudah tak tahan dengan sikap watados yang diperlihatkan
Rafa.
“Apa kalian
bodoh? bagaimana bisa kalian menuduhku?” Tanya Rafa dengan wajah meremehkan.
“Justru karena kami tidak bodoh, kami jadi menuduhmu!” Timpal Asami.
“Apa
buktinya?” Tanya Rafa.
“Kau
tahu Nabila?, teman sekelasmu waktu SMP. Dia bilang waktu SMP, kau adalah ketua
klub kimia dan kau pernah memenangkan beberapa penghargaan dalam bisang kimia.
Jadi, soal kawat yang bisa dioksidasi dengan menggunakan oksigen atau klorida,
kau pasti tahu kan?” Jelasku.
“Tapi
jika itu penyebabnya, bukankah teman disampingmu itu juga berkemungkinan
menjadi pelaku?” Tanya Rafa sambil menatap Asami dan berusaha menyangkalnya.
“Ya,
memang benar. Tapi apa kau ingat waktu kita berada di UKS?, kau menyuruhku
mencari alkohol di lemari obat! Padahal kau bukan orang yang suka berhubungan
dengan bagian kesehatan. Selain itu, bagaimana kau bisa tahu kalau Alkoholnya
habis, padahal pemasokannya baru dilakukan tiga hari yang lalu!”
“Kesimpulannya
hanya dua. Kau yang menggunakan alkohol itu atau kau menyuruh orang lain
menggunakannya!” Tambah Kyoko dengan tatapan dingin.
“Tapi
bukankah kakak kelas itu mengatakan bahwa pada sore hari, masih ada seorang
anak pendiam yang bertingkah aneh?” Tanya Rafa. Dia masih tidak mau mengaku.
“Tapi
apa kau tahu bahwa kakak kelas itu adalah kakak sepupunya Edward?, tidak
mungkin kakak kelas itu bilang Edward pendiam kalau dia sangat mengenal Edward.
Dan tadi kami menanyainya. Dia bilang itu bukan Edward karena sore itu Edward
segera pulang untuk mempersiapkan acara pertemuan keluarga dirumahnya!”
Jawabku.
“Selain
itu, kami sudah melakukan survei. Dibanding Edward, anak anak berpendapat bahwa
kau lebih pendiam dan lebih sukar bergaul!” Kata Rima. “Edward sudah mulai bisa
bergaul karena dukungan Mika. Selain itu kami bertanya pada Mia apakah Edward
sering mengabaikan Mika? Dan jawaban Mika berbeda denganmu!”
“Selain
itu, kami mendapat saksi mata yang akurat!” Kata Asami. “Keluarlah!”
Dari
belakang tembok, Mia keluar dengan tubuh yang gemetar. Raut wajahnya
menunjukkan ketakutan yang luar biasa. Matanya penuh dengan tumpukan air mata
yang tak mampu dibendung lagi.
“Maaf,
tapi setelah kupikirkan ternyata aku telah salah menyembunyikan kejahatan!”
Kata Mia dengan sedikit takut. “Aku memang mencintaimu, tapi aku tidak bisa
menyembunyikan kebenaran dari temanku yang bahkan sekarang terbaring dirumah
sakit!” Kata Mia meneteskan air mata. “Aku tidak peduli kau akan membenciku
selamanya!” Kata Mia. Dia menangis tersendu. Rima mendekati Mia untuk
menenangkannya.
“Ha, ha,
ha, ha.... dasar anak anak bodoh!” Rafa tertawa.“Selama ini aku muak melihat
kalian yang saling mengantungkan diri dengan orang lain!” Kata Rafa. “Tapi
selain itu, aku juga merasa iri karena Mika hanya mengangkat Edward dari
kesendiriannya!”
“Kurasa
aku tahu kenapa kau begini. Ibumu selalu memaksamu untuk menjadi yang terbaik.
Aku tahu dia selalu menekanmu!” Ucapku. “Aku tinggal disebelah rumahmu, dan aku
selalu mendengarkan pembicaraan kalian. Aku juga tahu kau punya kakak laki laki
yang mengalami gangguan jiwa karena selalu dipaksa ibumu!”
“...”
Rafa mengeluarkan air matanya.
Tambahku
mendekati Rafa. “Aku tahu kau merasa tertekan. Tapi kau tahu, kau lebih
beruntung dariku. Setiap pagi aku hanya sarapan ditemani dentingan sendok dan
piring yang kugunakan. Setiap hari, aku hanya bisa melihat bayangan ibuku! Tapi
aku bisa melewatinya karena teman temanku yang selalu berada disisiku!”
“Bagaimanapun
juga, hanya teman yang bisa mengisi kekurangan dalam keluargamu!” Tambahku.
Rafa
meneteskan air matanya sambil menahan sebiasa mungkin suara tangisnya. “Tahu
apa kau!” Bentak Rafa. “Kau hanyalah anak bodoh yang tidak punya orang tua.
Kehidupanmu itu berbeda dengan kehidupanku! Tahu apa kau?”
“...”
Aku tersenyum kecut. “Ya, aku memang tidak punya orang tua yang bisa memberiku
kasih sayang. Tapi setidaknya aku punya teman! Itu semua sudah cukup untukku!” Balasku
masih dengan senyum kecut yang kutunjukkan. “Selain itu aku tidak serapuh
dirimu. Kau selalu saja menghindari kenyataan, kau bahkan tak bisa membaurkan
dirimu dalam kehidupan sosial, kau selalu menghindari kami dengan bersembunyi
tiap kali ada waktu bebas!”
“Diam
saja kau!” Ucap Rafa lirih.
“Rafa,
jadi kau yang melakukannya?” Suara berat tiba tiba terdengar dari balik tembok
tempat Mia muncul.
“Pak Okari?”
Rima terkejut dengan kemunculan pak Okari. Semua anak yang berada disana
menatap pak Okari dengan pandangan heran.
“Ayo,
Rafa kita pergi ke ruang kepala sekolah!” Ajak Pak Okari denagn suara lembut.
Rafa
hanya menunduk dan berjalan mendekat kearah Pak Okari. “Aku sudah siap
menerimanya!” Kata Rafa. “Aku akan keluar dari sekolah ini! Maaf!” Kata Rafa
sambil berjalan meninggalkan anak anak lain bersama Pak Okari.
“Huh,
sudah selesai ya!” Gumam Asami. “Sebelumnya, aku sama sekali tidak menyangka
kalau Rafa yang melakukannya. Aku kira Edward tersangka utamanya!”
“Semuanya
memang tidak bisa ditebak!” Timpal Billy. “Tapi aku rasa ibu Rafa akan merubah
sikapnya mulai sekarang. Terkadang menjatuhkan diri bisa membuat orang lain
berubah menjadi lebih baik!”
Dan
begitulah pada akhirnya. Semuanya terselesaikan dan Rafa keluar dari sekolah
ini. Mika juga bisa kembali seperti biasanya. Suara berisik dari tetangga juga
jarang terdengar sekarang. Tapi kehidupanku hanya seperti biasanya. Ayah tetap
sibuk, dan aku tak bisa bertemu dengan kakakku walaupun kami satu sekolah. Ibu
juga tak pernah mengunjungiku. Tapi setidaknya aku masih punya teman yang bisa
menemaniku. Merekalah keluargaku. Hidup ini memang menyenangkan saat kau bisa
bersama teman temanmu.
“Iren, apa yang kau lakukan?” Tanya Rima yang
sedang menungguku bersama Asami dan Kyoko.
“...”
Aku hanya tersenyum dan kembali memandang langit sejenak. Dalam kehidupanku
yang kosong seperti langit, mereka datang sebagai pelangi dalam hidupku. Aku
tak akan melupakan semua ini. Sebuah persahabatan yang ditaburi warna warni
kehidupan.
“Tunggu
aku!” Aku berlari menghampiri mereka dengan sebuah perasaan menakjubkan yang
terus menggema dalam hatiku. Seperti inilah hariku, aku tak akan pernah menjadi
Rafa yang kedua, walaupun betapa sakitnya hati ini. Sekarang, aku hanya ingin
melangkah bersama sahabat sahabatku dengan senyuman. Sampai jumpa....
Langganan:
Postingan (Atom)