Selasa, 28 Juli 2015

Cerita hati

Hai Girls...
Aku cuman mau cerita nih...
Sekarang aku udah SMA. Alhamdulillah aku dapat sekolah favorit di Indonesia. Aku tinggal di asrama sekarang. Mumpung lagi megang laptop, aku mutusian buat curhat di blog pribadiku ini.
Gini nih, iseng iseng aku buka sosmed trus aku buka akunnya--orang yang aku sukai waktu SMP selama tiga tahun--
Aku jadi inget, dulu SMP tuh aku tipe orang yang egois, nggak pernah mau ngakuin perasaan, dan paling tabu yang namanya bilang aku suka sama siapa. Sama sih, kayak sekarang tapi seenggaknya sekarang aku bisa share perasaanku ke temen temenku. Nggak kayak dulu, walaupun sekarang aku masih nggak bisa ngungkapin perasaanku ke cowok aku takut harga diriku jatuh gara gara nyatain perasaan duluan. Aku tahu ini emang nggak bener, tapi nyimpen rasa sakit ini sendiri, buat aku ngerasa jadi cewek yang kuat.
Nggak tahu kenapa, aku malah klik foto di akunnya, dan semua fotonya muncul. Nyeseg rasanya, apalagi waktu aku tahu dia udah punya pacar yang se SMA dengannya. Dia manis juga, aku jadi seneng sendiri ngeliat fotonya. Tapi, it's OK. Aku bisa kok tetep nahan perasaan kayak gini. Jujur, akku udah suka sama dia sejak kelas tujuh SMP dan aku masih mendem perasaan itu sampai sekarang.
Nggak apa apa kok! aku selalu aja ngeyakinin hatiku dengan kalimat itu. Aku emang punya keputusan aku baru mau pacaran abis lulus SMA. Even, rasanya sakit menahan perasaan. Tapi entah kenapa, itu udah jadi bagian dari hidupku. Aku tahu aku pengecut. Tapi, entahlah...
Liatin fotonya, bener bener udah buat aku seneng. Banget. Tapi, ya udah deh aku seneng hidup sekarang seneng banget. Aku mau ngejar karirku aja deh. Aku udah sangat sangat sangat beruntung sekarang bisa sekolah disini. Aku bakal banggain almamater dan bergabung dengan jaringan ikatan alumni yang begitu kuat dan solid.

Sabtu, 18 Juli 2015

Misteri Senar Piano yang Berkarat (cerpen)



Misteri Senar Piano yang Berkarat
Oleh: LY5239 (Luticia Fiandra Yana Tirta)

Aku membuka mataku yang terasa berat. Suara berisik dari alarm menarikku keluar dari dunia mimpi. Tak hanya alarm yang ku set dengan volume maksimal, tapi juga ayam peliharaan dan burung beo yang dari tadi mengoceh tanpa makna. Kepalaku terasa pusing mendengar suara berisik yang membuat tulang pendengaranku mengeras. Tapi tak apalah, setidaknya aku tak harus mencabuti rumput disekolah karena tiba disana setelah bel berbunyi. Atau bisa dibilang terlambat.
Dengan kelopak mata yang sedikit mengatup, aku meraih handphone ku dan memencet layar yang bertuliskan ‘matikan’. Ruangan terdengar sunyi seketika. Tak ada suara ribut yang menganggu. Karena aku juga tak mendengar dua perliharaan yang termasuk kedalam family aves itu mengoceh.
Dengan langkah sempoyongan, aku meraih handukku dan segera memasuki kamar mandi. Sedikit berat rasanya harus meninggalkan ranjang empuk itu dan memulai aktivitas yang melelahkan.  Dengan kesadaran yang belum sepenuhnya terkumpul, aku menyalakan shower dan...
“Dingin.....” Aku berteriak. Tapi seketika itu juga kesadaranku kembali sepenuhnya. Beruntung dirumah ini hanya ada aku. Aku tebak ayahku yang seorang sekretaris itu sudah berangkat hari ini. Hah, seharusnya dia menyadari tugasnya sebagai seorang single parent. Bagaimana mungkin dia belum terbiasa setelah hampir enam tahun berpisah dengan ibu? Jika tak ingin gagal membangun rumah tangga, seharusnya dia beradaptasi, sesuai dengan teori Lammarck.
Seusai membasuh tubuhku dengan air, aku segera memakai seragam sekolahku yang sangat kusukai ini. Dibanding dengan seragam sekolah lain, kurasa design seragam sekolahku lebih baik. Bentuknya tak terlalu menonjolkan lekuk tubuh dan designnya tidak terlalu sederhana. Warna jas nya biru muda dengan kemeja biru tua kotak kotak dan rok selutut berwarna putih. Ini baru seragam untuk hari Rabu dan Kamis. Masih ada seragam hari jumat yang berwarna cokelat. Seragamnya hampir sama dengan seragam SMA Jeguk di drama “The Heirs”. Mungkin seragam dalam drama itu terinspirasi dari seragam sekolahku.
Setelah selesai ganti baju, aku segera menggendong tasku dan berlari menyusuri tangga menuju ke ruang makan. Disana sudah tersedia satu piring nasi goreng dan segelas susu. Entah kenapa aku masih saja merasa kecewa, padahal aku sudah menjalani semua ini selama enam tahun. Suara dentingan sendok dengan piring menggema diruang makan yang kutempati ini. Suasana makan yang sangat sunyi. Padahal dulu, ibu pasti akan bertanya bagaimana sekolahku?, apakah pelajarannya sulit, dan bagaimana teman temanmu. Tapi sekarang, semua itu hanyalah mimpi belaka. Aku jadi tak bernapsu untuk menghabiskan sarapanku. Aku terlalu bosan dengan suasana seperti ini. Aku segera keluar dari rumahku dan berjalan menuju halte bus terdekat. Setiap pagi, aku selalu naik bus sampai kesekolahku. Kebanyakan temanku selalu diantar jemput oleh orang tua mereka. Tidak seperti diriku yang bahkan hanya punya satu orang tua yang berangkat saat aku masih tidur dan pulang saat aku sudah tidur. Liburanpun dia hanya tidur, kalau tidak, dia akan mengerjakan pekerjaannya. Aku jadi iri dengan teman temanku. Aku segera memasuki bus yang berhenti tepat dihalte tempatku menunggu. Masih banyak kursi yang kosong, Hanya ada beberapa pelajar yang naik bus. Kebanyakan adalah ibu ibu rumah tangga yang baru saja belanja di pasar. Beberapa menit kemudian, bus yang kutumpangi berhenti disebuah sekolah swasta yang didepannya terdapat sebuah tugu bertuliskan SMA Slativia.
Aku berjalan masuk kesekolahku. Bisa dibilang, sekolah ini cukup besar. SMA Slativia merupakan salah satu SMA favorit di provinsi Jawa Tengah. Perlu usaha yang sangat berat untuk bisa masuk kesini. Padahal, dulu aku sama sekali tak berminat dengan sekolah ini, tapi sekarang aku justru malah sekolah disini. Ayahku yang mendaftarkanku kesekolah ini. Dia melakukannnya karena kakakku juga sekolah disini. Tapi, aku tidak terlalu sering bertemu kakakku karena jarak ruang kelas kami juga sangat jauh. Kakakku sering keluar lewat gerbang utara, sementara aku keluar lewat gerbang selatan. Ironisnya lagi, kurasa dia lupa kalau aku adalah adiknya, kalau tidak lupa mungkin dia tidak mau mengakuiku sebagai adiknya. Bagaimanapun juga, dia sangat populer disekolah ini. Sementara aku, aku hanyalah satu jerami dalam tumpukan jerami. Selain itu nama kami cukup berbeda. Namaku adalah Irene, tapi orang orang memanggilku ‘AIRIN’.
Saat aku berjalan dikoridor lantai satu, tiba tiba aku mendengar suara gaduh dari tangga menuju kantin sekolah di lantai satu. Beberapa anak terlihat berlari menghampiri suara gaduh itu. Jadi aku juga memutuskan untuk ikut berlari dan menghampiri kerumunan itu. Didalam hati, aku bertanya tanya apa yang sudah terjadi? Kerumunan itu begitu ramai dan aku sama sekali tak menemukan celah untuk mengintip. Tiba tiba seorang gadis berteriak. “Cepat selamatkan dia!” Beberapa saat setelah teriakan itu, kerumunan mulai melonggar dan seorang laki laki berseragam olah raga berlari sambil menggendong seorang anak perempuan yang kepalanya berlumuran darah.
“Mika?” Aku terkejut. Anak yang kepalanya berlumuran darah itu adalah Mika. Teman sekelasku.
Beberapa saat kemudian, kerumunan tadi mulai memudar. Aku masih terpaku ditempatku berdiri tadi dan menatap bercak darah yang masih melekat dilantai. Kenapa Mika bisa terjatuh dari tangga? aku berpikir keras mencari kemungkinan yang terjadi. Apa mungkin dia hanya kepeleset? Tanpa pikir panjang, aku segera berjalan menaiki tangga tempat Mika terjatuh. Aku mencari sesuatu yang mungkin bisa membuat Mika terjatuh selain karena keteledorannya sendiri. Tepat dianak tangga nomer lima dari atas, aku melihat benda seperti benang yang telah terputus. Benang itu terikat dengan pagar yang berada ditangga. Aku segera mengambil ponselku dan memotret benang itu. Dari beberapa buku yang aku baca, para detektif biasanya memotret barang bukti yang tak bisa disentuhnya karena bisa meninggalkan sidik jari.
“Pak Okari!” Kebetulan saat itu ada seorang guru yang sedang meninjau tempat kecelakaan tadi. Namanya adalah Okari, beliau adalah salah satu Guru favorit yang mengajar Bahasa Indonesia di sekolah ini. 
“Irene, apa yang kamu lakukan disana?” Tanya Pak Okari sambil berjalan kearahku.
“Aku menemukan sesuatu, mungkin ini yang membuat Mika terjatuh!” Jawabku sambil berusaha menunjukkan sebuah benda yang mirip benang itu.
Pak Okari ikut jongkok mengamati benang itu. Lalu beliau menyentuhnya. “Senar piano!” Gumam Pak Okari. “Bapak akan melaporkan hal ini pada kepala sekolah! Lebih baik kamu segera kembali ke kelas!” Pinta Pak Okari padaku. Aku hanya bisa menganguk dan berjalan meninggalkan tempat tadi.
Aku berjalan sambil melamun. Memikirkan kemungkinan yang terjadi. Bagaimana mungkin disana bisa ada senar piano? ini pasti bukan kecelakaan, aku yakin ini telah dIrenecanakan. Tapi untuk apa pelaku mencelakai Mika? bukankah dia adalah gadis yang baik?.
“Irene!” Sapa Rima dengan wajah panik.
“Ada apa?” Tanyaku dengan wajah datar. Aku masih bingung mengenai senar piano tadi.
“Apa kau sudah mendengarnya?, Mika jatuh dari tangga dan baru saja dibawa kerumah sakit!” Ucapnya heboh.
“Aku sudah tahu!” Jawabku.
“Benarkah?” Kata Rima sedikit kecewa.
“Kau tahu apa yang aku temukan?” Tanyaku berusaha membangkitkan suasana hatinya. Lagi pula aku berniat memecahkan kasus senar piano ini. Tapi aku tidak mungkin bisa memecahkannya sendirian.
“Apa?” Tanya Rima antusias.
“Akan kuberitahu, tapi kita masuk ke dalam kelas dulu!” Ucapku dan menyeret Rima memasuki kelas. Aku segera mendudukkan diriku di bangku yang sudah ditentukan dan Rima duduk di bangkunya yang berada didepanku. Aku duduk disebelah Asami, sementara Rima duduk disebelah Billy. Sejak awal semester, tempat duduk kami selalu seperti ini. Mau bagaimana lagi, wali kelas kami yang telah menentukan susunan tempat duduk dikelasku ini. Disetiap pelajaran, kami selalu saja satu kelompok. Bahkan orang orang menjuluki kami empat bersaudara.
Aku mengeluarkan ponselku dan membuka sebuah gambar senar piano yang sempat aku potret tadi. “Ini gambar senar piano yang aku potret ditangga kelima dari atas tempat Mika terjatuh!” Jelasku. Rima, Asami dan Kyoko terlihat antusias mendengar penjelasanku.
“Senar piano kau bilang?” Tanya Asami dengan wajah heran. “Kenapa senar piano berkarat?” Tanya laki laki muda yang pandai dibidang kimia itu.
“Apa senar piano tidak bisa berkarat?” Tanyaku.
“Setahuku, senar piano selalu diolesi minyak untuk menghindari oksidasi!” Jawab Asami. “Karena itu senar piano selalu terlihat mengkilat!” Lanjutnya.
“Jadi maksudmu, senar pianonya sudah dikeringkan?” Tanya Rima ikut berpikir. “Begitulah!” Jawab Asami.
“Benar juga, jika senar pianonya mengkilat maka akan mudah terlihat. Tapi lain halnya jika senar piano itu sudah berkarat!” Pikirku. “Itu berarti orang yang melakukannya adalah orang yang ahli dibidang sains!”
“Tapi untuk apa pelaku melakukannya?” Tanya Kyoko.
“Itu aku juga belum tahu. Tapi setahuku, Mika selalu membantu ibunya setiap pagi. Dia selalu melewati tangga itu. Saat pagi hari, tangga itu jarang dilewati karena jauh dari pintu masuk. Tapi saat sore, cukup banyak anak yang melewati tangga itu karena mereka biasanya mampir dulu kekantin sebelum pulang sambil menunggu jemputan!” Jelasku. “Jadi kesimpulannya, pelaku memasang kawat itu sekitar jam empat sore sampai jam enam pagi!”
“Benar juga!” Gumam Kyoko. “Jika dilihat dari posisi tangga itu, mungkin ada beberapa kelas yang letaknya cukup strategis untuk melihat tangga itu secara keseluruhan! Tangga itu terletak di gedung tiga. Gedung yang posisinya berhadap hadapan dengan gedung tiga adalah gedung satu. Tempat anak anak kelas tiga!”
“Kau benar! Dan tempat yang paling strategis adalah kelas IPA yang posisinya berada dilantai dua. Karena jika dari lantai satu, mereka tidak mungkin bisa melihat dengan jelas kerena jendela yang tertutupi pohon cemara. Sementara jika dari lantai tiga, aku yakin bagian atas dari tangga itu tertutup oleh genting!” Tambah Asami.
“Kau benar. Berarti untuk masalah tempat sudah terpecahkan!” Ucapku. 
“Sekarang pertanyaannya, dimana kita bisa menemukan zat yang bisa mengoksidasi senar piano?” Tanya Rima.
“Kupikir kita bisa menemukannya di ruang praktikum kimia!” Kata Asami. Dia ikut ekstrakulikuler Kimia. Jadi dia tahu banyak tentang hal hal seperti itu. Ditambah lagi, dia adalah calon perwakilan sekolah diolimpiade Fisika tahun ini.
“Hn, kau benar! Kita bertanya saja pada guru Kimia nanti saat istirahat!” Usul Rima.
“Baiklah, lagipula sebentar lagi bel masuk berbunyi!”
***
“Apa kau yakin kau akan bertanya pada Bu Melly?” Tanyaku ragu ragu.
“Tentu saja!” Jawab Asami dengan mantap. Kami berdua harus bertanya pada bu Melly tentang senar piano. Sementara  Rima dan Kyoko pergi ke gedung satu untuk mengecek saksi mata yang pada saat pukul empat sampai pukul enam pagi berada dikelas.
“Selamat pagi Bu Melly!” Sapa Asami sambil berjalan menuju tempat Bu Melly duduk di ruang praktikum.
“Asami, ada apa?” Tanya Bu Melly dengan ramah. “Ah, temanku ingin bertanya sesuatu!” Kata Asami. Sial, anak itu mengerjaiku. Aku hanya bisa menatap Asami dengan pandangan “Mati kau!’ Sementara Asami hanya cengengesan.
“Ada apa Irene?” Tanya Bu Melly.
“E, aku hanya ingin bertanya tentang komposisi senar piano!” Ucapku agak gugup.
“Komposisi senar piano?” Tanya Bu Melly sambil berpikir. “Kalau tidak salah, fosfor, sulfur, dan tembaga! Ada apa memangnya? Kalau tertarik dengan eksperiment, bergabung saja dengan klub kimia!” Kata Bu Melly menawariku.
“Ah tidak terimakasih. Tapi... apa zat zat itu mudah teroksidasi?” Tanyaku.
“Didiamkan saja juga akan teroksidasi. Tapi supaya cepat, kita bisa mengoksidasinya dengan menggunakan klorida dan oksigen!” Jelas Bu Melly. “Tapi kalau kalian ingin meminjam bahan bahan disini, ibu tidak bisa memperbolehkannya. Soalnya hampir semua bahan bahan disini berbahaya! Karena itu ruangan ini selalu dikunci jika tidak digunakan!” Kata Bu Melly.
“Begitu ya!”
“Kalau sudah selesai, ibu mau keluar dulu. Soalnya sebentar lagi akan ada rapat wali kelas dan pelajaran selanjutnya akan kosong! Ayo kita keluar!” Kata Bu Melly.
Kami bersdia mengikuti perintah Bu Melly dan segera keluar dari ruang praktikum. Aku dan Asami berjalan hendak kembali menuju ke kelas. Disaat itu juga, aku ingat sesuatu. Aku segera berhenti berjalan.
“Ada apa Irene?” Tanya Asami. “Kenapa berhenti?” Tanyanya lagi.
“Tadi  Bu Melly bilang bahwa paling mudah mengoksidasi senar piano dengan Klorida atau oksigen kan?” Tanyaku.
“...” Asami hanya mengangguk.
“C2H5OH itu rumus apa?” Tanyaku.
“Kalau tidak salah alkohol!” Jawab Asami.
“Bukankah Alkohol bisa digunakan untuk mengobati luka?” Tanyaku memastikan. “Itu berarti....” Aku menggantung kalimatku.
“UKS!” Tebak Asami. Kami berdua segera berlari menuju UKS. Aku berusaha mensejajari Asami yang berada didepanku. Aku berharap semoga kami bisa mendapatkan jawaban atas misteri ini. Setidaknya orang yang bersalah itu harus bertanggung jawab dan mendapat hukuman supaya dia jera.
“Sepertinya ada orang di UKS!” Kata Asami saat melihat salah satu tirai disana tertutup. Asami segera membuka tirai itu dan ternyata ada Rafa, teman sekelas kami yang sedang tiduran disana. Rafa adalah tipe orang yang cukup pendiam. Dia sangat suka berada ditempat sepi, kalau ada waktu kosong dia pasti akan pergi dari kelas. Dia memang terkesan tertutup, tapi sepertinya dia tidak terlalu dingin.
“Asami?” Rafa sedikit kaget. “Apa yang kau lakukan disini?” Tanya Asami dengan sinis. “Kau mau bolos ya?” Tanyanya dengan tatapan iblis. Asami memang sering iri dengan anak anak yang bisa bolos pelajaran dan bersantai. Pasalnya, tiap hari dia harus selallu belajar untuk menghadapi Lomba Olimpiade Fisika yang akan diadakan tiga minggu lagi.
“Bukankah setelah ini jam kosong?” Tanya Rafa. “Lagi pula ada urusan apa kau disini?” Tanya Rafa.
“Kami hanya mencari obat!, tangannya Rima berdarah!” Jawabku berbohong. Aku tidak mungkin memberitahunya bahwa aku sedang mencari barang bukti yang digunakan pelaku untuk mencelakai Mika.
“Hm, kalau begitu ambil saja obatnya disana!” Kata Rafa sambil menunjuk sebuah lemari obat di sudut ruangan. “Tapi kalau alkohol sepertinya sudah habis!”
“...” Aku mengangguk dan segera mendekati lemari obat itu. Sementara Asami malah berdebat dengan Rafa.
“Ini dia!” Gumamku dalam hati. Aku segera mengambil botol Alkohol itu dan membukanya. “Habis?” Ternyata Rafa benar. Kemudian aku mengecek buku persediaan obat yang terletak diatas lemari itu. Alkohol, aku menemukannya. Dalam buku itu tercatat bahwa penggantian bahannya dilakukan dua hari yang lalu. Mana mungkin alkoholnya langsung habis. Apa mungkin digunakan untuk mengobati lukanya Mika tadi pagi? Tapi bukankah dia langsung dibawa kerumah sakit? Kemudian aku mengecek siswa yang piket di UKS dua hari yang lalu dan kemarin. Jumlahnya ada enam anak. Dan salah satu dari mereka adalah teman sekelasku .Empat diantaranya adalah adik kelas. Kurasa ini akan sangat sulit.
Tiba tiba aku melihat Asami berjongkok sambil menatap lekat lekat sebuah benda seperti benang yang menjulur dari lemari yang berada disamping lemari obat. “Ini apa?” Tanya Asami. Dia segera membuka pintu lemari itu dan disana ada seutas senar piano dan tumpahan cairan alkohol.
“Apa itu?” Tanya Rafa yang juga melihatnya.
“Rafa, bisakah kau panggilkan pak Okari!” Pintaku pada Rafa. Dia segera mengangguk dan berlari menuju ruang Guru. Kurasa dia mengarti keadannya.
“Buktinya sudah terkumpul. Tinggal mencari siapa pelakunya!” Kata Asami masih dengan pandangan yang terpaku pada senar itu.
“Aku tahu bagaimana caranya mengetahui si pelaku. Namun kemungkinannya hanya tiga puluh lima persen!” Pikirku. “Tapi jika ada bukti lain....” Aku menggantung kalimatku karena Pak Okari sudah masuk ke UKS.
“Ada apa?” Tanya pak Okari.
“Kami menemukan barang bukti si pelaku!” Jawabku lalu berdiri. Pak Okari segera mendekati senar dan tumpahan alkohol itu. “Ini...., kurasa kasus ini murni disengaja! Aku harus merapatkannya dengan kepala sekolah! Kalian jangan sentuh benda itu. Aku akan menyuruh orang untuk mengeceknya!” Kata Pak Okari lalu segera keluar dari UKS.
“Jadi..., Mika terjatuh bukan karena kecelakaan?” Tanya Rafa yang sepertinya sudah mengerti alur dari masalah yang kami ceritakan.
“Ya!” Jawab Asami singkat.
“Kemungkinan aku sudah tahu siapa pelakunya!” Ucapku. Memang tak ada bukti langsung yang mengacu pada orang itu, tapi entah kenapa aku yakin dialah pelakunya. “Bukankah kau satu kelompok dengan Mika?” Tanyaku pada Rafa. “Ya, aku sekelompok dengan Mika, Mia, dan Edward!”  Jawab Rafa.
“Apakah Mika sedikit aneh saat kalian mulai bekerja dalam kelompok!” Tanyaku.
“Ku rasa tidak! Tapi... dia sangat sering mengajak Edward bicara walaupun Edward hanya mengacanginya! Selain itu, kurasa dia sedikit tidak bisa bekerja sama dengan Mia. Soalnya Mia selalu bersikap dingin dengan Mika!” Jelas Rafa.
Setelah mendengar penjalasannya Rafa, keyakinanku bertambah sepuluh persen dan sekarang menjadi empat puluh lima persen. Yah, aku yakin orang itu adalah pelakunya. Tidak salah lagi.
“Aku mencari kalian kemana mana, ternyata kalian disini!” Kata Rima yang tiba tiba muncul dari pintu UKS. “Kami menemukan dua orang saksi mata. Namun salah satunya tidak berangkat karena flu!” Tambahnya.
“Siapa?” Tanya Asami. Rima terlihat enggan menjawab sambil menatap Rafa. “Tenang saja, dia sudah tahu semuanya!” Kata Asami seolah mengerti maksud dari tatapan Rima.
“Baiklah, yang hari ini masuk adalah Riana. Dia sampai disekolah pukul setengah enam dan sempat melihat Mia melewati tangga yang menuju kekantin itu. Tapi dia sama sekali tak tersandung!” Jelas Rima. “Dan yang hari ini tidak masuk adalah Putri. Mereka bilang kemarin Putri berada dikelas untuk menyelesaikan tugasnya sambil menunggu jemputan sampai jam lima. Dan kemarin dia sempat mengunggah status yang berbunyi ‘Ternyata tidak hanya aku yang jam segini masih berada disekolah, si adik pendiam itu ternyata sibuk juga!tapi apa yang dia lakukan? Aneh!’”
Dugaanku benar. Pikirku dalam hati. Jika Putri berangkat besok, maka semua akan terpecahkan. Dan tinggal satu lagi hal yang harus kutunggu. Maka semuanya akan terselesaikan.
“Sebentar lagi jam kosong selesai! Apa kalian akan terus berada disini?” Tanya pak Okari yang ternyata sudah kembali bersama beberapa orang.
“Kami akan segera kembali!” Kata Kyoko sambil mengisyaratkan kami untuk kembali menuju ke kelas.
Kami berlima segera berjalan menuju kelas kami dan kembali ketempat duduk masing masing.
“Tumben Edward mau bergaul!” Kata Asami sambil memandang sinis orang itu. Benar juga, tumben Edward mau berbicara dengan orang lain sampai seperti itu.
***
Pagi yang indah ini mengiringi langkahku menyusuri jalan setapak menuju kelasku. Aku sudah tidak sabar mendepatkan hasilnya. Semuanya akan terungkap hari ini. Bagaimana tidak, aku sudah memastikan bahwa kak Putri akan masuk sekolah hari ini dan satu langkah terakhir adalah mengeceknya dan bertanya langsung pada Mika. Jika orang itu bertanya bagaimana keadaan Mika, maka sudah jelas dia adalah pelakunya. Bagaimanapun juga, dia bukan tipe orang berdarah dingin. Dia pasti juga punya rasa bersalah dan khawatir, setidaknya jika dia masih berhati manusia.
“Hai teman teman...., ngomong ngomong bagaimana keadaan Mika?” Tanyaku saat memasuki kelas. Jawaban teman temanku akan menjadi kuncinya.
“Dia baik baik saja, hanya kesleo kaki dan luka dikepalanya. Dia bilang dia akan berangkat sekolah empat hari lagi!” Jawab Lala. Ketua kelas dikelasku.
“Apa kau bertanya pada Mika tadi malam?” Tanyaku.
“Tidak, Edward yang memberitahuku!” Jawab Lala.
“Begitu ya, apa Rafa sudah tahu kalau Mika baik baik saja? Dia kan teman sekelompok Mika!” Tanyaku lagi.
“Yah... walaupun sekelompok, mereka tidak sedekat yang kau kira!” Jawab Lala. “Tapi seperrtinya Rafa sudah tahu kalau Mika baik baik saja soalnya saat Edward memberitahunya, tadi Rafa bilang dia sudah tahu!”
“Oh, begitu ya!” Gumamku.
“Ada SMS!” Aku merasakan handphoneku bergetar. Ternyata dari Mika. Aku segera meletakkan tasku dan berjalan keluar kelas. Aku membaca SMS nya. Dia bilang yang menghubunginya tadi malam ada tiga orang. Luci yang notabene sahabatnya, Edward, dan Rafa yang teman sekelompoknya. Sekarang keyakinanku hampir seratus persen. Tinggal menunggu keterangan dari Rima, Kyoko, dan Asami yang sedang menanyai kak Putri.
Aku hanya bersandar ditembok kelas sambil menunggu temna temanku. Beberpa saat kemudian dari kejauhan, aku melihat Rima, Kyoko, dan Asami berjalan kembali ke kelas. Aku segera menghampiri mereka dan menanyakan hasilnya. Dan ternyata benar, orang itu yang melakukannya. Aku seratus persen yakin bahwa dia yang melakukannya.
“Dia tadi pergi ketaman belakang!” Jawab Rima saat aku bertanya sedang berada dimana dia. Karena kulihat tadi tasnya sudah berada dikelas.
“Sebaiknya kita pergi menghampirinya!” Kata Asami mulai berjalan meninggalkan kami. Dan benar, dia sedang berada ditaman belakang sambil tiduran dibangku.
“Rafa, kami ingin bicara denganmu!” Kata Kyoko sambil menatapnya tajam.
“Kalian, kalian mau bicara apa?” Tanya Rafa dengan wajah datar.
“Kenapa kau melakukannya?” Tanyaku langsung pada inti pembicaraannya.
“Melakukan apa?” Tanya Rafa pura pura tak mengerti.
“Jangan memasang wajah seperti itu, kau yang memasang senar piano itu ditangga kan?” Tanya Rima. Dia sudah tak tahan dengan sikap watados yang diperlihatkan Rafa.
“Apa kalian bodoh? bagaimana bisa kalian menuduhku?” Tanya Rafa dengan wajah meremehkan. “Justru karena kami tidak bodoh, kami jadi menuduhmu!” Timpal Asami.
“Apa buktinya?” Tanya Rafa.
“Kau tahu Nabila?, teman sekelasmu waktu SMP. Dia bilang waktu SMP, kau adalah ketua klub kimia dan kau pernah memenangkan beberapa penghargaan dalam bisang kimia. Jadi, soal kawat yang bisa dioksidasi dengan menggunakan oksigen atau klorida, kau pasti tahu kan?” Jelasku.
“Tapi jika itu penyebabnya, bukankah teman disampingmu itu juga berkemungkinan menjadi pelaku?” Tanya Rafa sambil menatap Asami dan berusaha menyangkalnya.
“Ya, memang benar. Tapi apa kau ingat waktu kita berada di UKS?, kau menyuruhku mencari alkohol di lemari obat! Padahal kau bukan orang yang suka berhubungan dengan bagian kesehatan. Selain itu, bagaimana kau bisa tahu kalau Alkoholnya habis, padahal pemasokannya baru dilakukan tiga hari yang lalu!”
“Kesimpulannya hanya dua. Kau yang menggunakan alkohol itu atau kau menyuruh orang lain menggunakannya!” Tambah Kyoko dengan tatapan dingin.
“Tapi bukankah kakak kelas itu mengatakan bahwa pada sore hari, masih ada seorang anak pendiam yang bertingkah aneh?” Tanya Rafa. Dia masih tidak mau mengaku.
“Tapi apa kau tahu bahwa kakak kelas itu adalah kakak sepupunya Edward?, tidak mungkin kakak kelas itu bilang Edward pendiam kalau dia sangat mengenal Edward. Dan tadi kami menanyainya. Dia bilang itu bukan Edward karena sore itu Edward segera pulang untuk mempersiapkan acara pertemuan keluarga dirumahnya!” Jawabku.
“Selain itu, kami sudah melakukan survei. Dibanding Edward, anak anak berpendapat bahwa kau lebih pendiam dan lebih sukar bergaul!” Kata Rima. “Edward sudah mulai bisa bergaul karena dukungan Mika. Selain itu kami bertanya pada Mia apakah Edward sering mengabaikan Mika? Dan jawaban Mika berbeda denganmu!”
“Selain itu, kami mendapat saksi mata yang akurat!” Kata Asami. “Keluarlah!”
Dari belakang tembok, Mia keluar dengan tubuh yang gemetar. Raut wajahnya menunjukkan ketakutan yang luar biasa. Matanya penuh dengan tumpukan air mata yang tak mampu dibendung lagi.
“Maaf, tapi setelah kupikirkan ternyata aku telah salah menyembunyikan kejahatan!” Kata Mia dengan sedikit takut. “Aku memang mencintaimu, tapi aku tidak bisa menyembunyikan kebenaran dari temanku yang bahkan sekarang terbaring dirumah sakit!” Kata Mia meneteskan air mata. “Aku tidak peduli kau akan membenciku selamanya!” Kata Mia. Dia menangis tersendu. Rima mendekati Mia untuk menenangkannya.
“Ha, ha, ha, ha.... dasar anak anak bodoh!” Rafa tertawa.“Selama ini aku muak melihat kalian yang saling mengantungkan diri dengan orang lain!” Kata Rafa. “Tapi selain itu, aku juga merasa iri karena Mika hanya mengangkat Edward dari kesendiriannya!”
“Kurasa aku tahu kenapa kau begini. Ibumu selalu memaksamu untuk menjadi yang terbaik. Aku tahu dia selalu menekanmu!” Ucapku. “Aku tinggal disebelah rumahmu, dan aku selalu mendengarkan pembicaraan kalian. Aku juga tahu kau punya kakak laki laki yang mengalami gangguan jiwa karena selalu dipaksa ibumu!”
“...” Rafa mengeluarkan air matanya.
Tambahku mendekati Rafa. “Aku tahu kau merasa tertekan. Tapi kau tahu, kau lebih beruntung dariku. Setiap pagi aku hanya sarapan ditemani dentingan sendok dan piring yang kugunakan. Setiap hari, aku hanya bisa melihat bayangan ibuku! Tapi aku bisa melewatinya karena teman temanku yang selalu berada disisiku!”
“Bagaimanapun juga, hanya teman yang bisa mengisi kekurangan dalam keluargamu!” Tambahku.
Rafa meneteskan air matanya sambil menahan sebiasa mungkin suara tangisnya. “Tahu apa kau!” Bentak Rafa. “Kau hanyalah anak bodoh yang tidak punya orang tua. Kehidupanmu itu berbeda dengan kehidupanku! Tahu apa kau?”
“...” Aku tersenyum kecut. “Ya, aku memang tidak punya orang tua yang bisa memberiku kasih sayang. Tapi setidaknya aku punya teman! Itu semua sudah cukup untukku!” Balasku masih dengan senyum kecut yang kutunjukkan. “Selain itu aku tidak serapuh dirimu. Kau selalu saja menghindari kenyataan, kau bahkan tak bisa membaurkan dirimu dalam kehidupan sosial, kau selalu menghindari kami dengan bersembunyi tiap kali ada waktu bebas!”
“Diam saja kau!” Ucap Rafa lirih.
“Rafa, jadi kau yang melakukannya?” Suara berat tiba tiba terdengar dari balik tembok tempat Mia muncul.
“Pak Okari?” Rima terkejut dengan kemunculan pak Okari. Semua anak yang berada disana menatap pak Okari dengan pandangan heran.
“Ayo, Rafa kita pergi ke ruang kepala sekolah!” Ajak Pak Okari denagn suara lembut.
Rafa hanya menunduk dan berjalan mendekat kearah Pak Okari. “Aku sudah siap menerimanya!” Kata Rafa. “Aku akan keluar dari sekolah ini! Maaf!” Kata Rafa sambil berjalan meninggalkan anak anak lain bersama Pak Okari.
“Huh, sudah selesai ya!” Gumam Asami. “Sebelumnya, aku sama sekali tidak menyangka kalau Rafa yang melakukannya. Aku kira Edward tersangka utamanya!”
“Semuanya memang tidak bisa ditebak!” Timpal Billy. “Tapi aku rasa ibu Rafa akan merubah sikapnya mulai sekarang. Terkadang menjatuhkan diri bisa membuat orang lain berubah menjadi lebih baik!”
Dan begitulah pada akhirnya. Semuanya terselesaikan dan Rafa keluar dari sekolah ini. Mika juga bisa kembali seperti biasanya. Suara berisik dari tetangga juga jarang terdengar sekarang. Tapi kehidupanku hanya seperti biasanya. Ayah tetap sibuk, dan aku tak bisa bertemu dengan kakakku walaupun kami satu sekolah. Ibu juga tak pernah mengunjungiku. Tapi setidaknya aku masih punya teman yang bisa menemaniku. Merekalah keluargaku. Hidup ini memang menyenangkan saat kau bisa bersama teman temanmu.
 “Iren, apa yang kau lakukan?” Tanya Rima yang sedang menungguku bersama Asami dan Kyoko.
“...” Aku hanya tersenyum dan kembali memandang langit sejenak. Dalam kehidupanku yang kosong seperti langit, mereka datang sebagai pelangi dalam hidupku. Aku tak akan melupakan semua ini. Sebuah persahabatan yang ditaburi warna warni kehidupan.
“Tunggu aku!” Aku berlari menghampiri mereka dengan sebuah perasaan menakjubkan yang terus menggema dalam hatiku. Seperti inilah hariku, aku tak akan pernah menjadi Rafa yang kedua, walaupun betapa sakitnya hati ini. Sekarang, aku hanya ingin melangkah bersama sahabat sahabatku dengan senyuman. Sampai jumpa....